BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia pada era 1990-2000 belum banyak membicarakan ancaman perubahan iklim sebagai akibat dari menumpuknya emisi gas-gas rumah kaca. Hal tersebut cenderung disebabkan oleh anggapan bahwa isu pemanasan global, perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca (GRK) dianggap sebagai upaya negara industri untuk menghambat laju pertumbuhan ekonomi Negara berkembang.
Pemahaman ini pun lambat laun berubah, para pengambil kebijakan mulai melihat dampak dari perubahan iklim tersebut. Naiknya muka air laut di pesisir pantai selatan pulau Jawa dan Sumatera pada bulan Mei dan Juni 2007, curah hujan yang tidak menentu serta cuaca ekstrim yang saat ini terjadi di beberapa daerah pun mulai dilihat sebagai bentuk nyata dari iklim yang mulai berubah.
Sektor pertanian merupakan salah satu pemberi kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui sawah-sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk urea serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman dan pembusukan sisa-sisa pertanian serta pembusukan kotoran ternak. Namun, banyak pihak yang mengatakan bahwa emisi gas GRK dari sektor pertanian adalah rendah. Walaupun rendah tetapi apabila terus terakumulasi tetap akan membahayakan dan secara tidak langsung akan diberi kontribusi terhadap pemanasan global. Karena, dari sektor ini diketahui akan menghasilkan gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N2O). Gas metan merupakan salah satu faktor memicu berlubangnya ozon yang berdampak terhadap pemanasan global. Dampak yang ditimbulkan akibat adanya pemanasan global di bidang pertanian antara lain keterlambatan musim tanam atau panen padi, kegagalan penanaman atau panen karena banjir, tanah longsor dan kekeringan.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Thailand telah menyadari bahwa dengan adanya ancaman ini, mereka pun segera melakukan sosialisasi kepada petaninya untuk menerapkan teknologi yang ramah lingkungan dan setidaknya dapat mengurangi emisi gas GRK dari lahan pertanian yang menjadi mata pencarian sebagian besar masyarakat. Sementara di Indonesia, jangankan sosialisasi teknologi mitigasi, tapi yang telah kita ketahui bersama, kita masih dan terus saja terfocus dalam memperdebatkan besar kecilnya emisi GRK dari lahan pertanian kita.
Oleh sebab itulah, kita sebagai generasi muda penerus bangsa, berkewajiban ikut serta dalam memelihara lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan pertanian yang menjadi mata pencarian utama masyarakat Indonesia, sehingga dapat diterapkan suatu teknologi pertanian yang ramah lingkungan dan dapat meminimalkan emisi GRK.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari sektor pertanian dalam meningkatkan emisi GRK.
2. Untuk mengetahui teknologi yang dapat diterapkan dalam bidang pertanian sebagai solusi dalam mengurangi peningkatan emisi GRK.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Pemanasan global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan dibeberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di belahan bumi yang lain akan mengalami musim kering berkepanjangan akibat adanya kenaikan suhu (Ridwan 2011).
Dapat disimpulkan bahwa pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan pengunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara), serta kegiatan lain yang berhubungan dengan hutan, pertanian, dan peternakan. Aktivitas manusia dengan kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan pada komposisi alami atmosfer, yaitu meningkatnya gas rumah kaca secara global (Ridwan 2011).
B. Hubungan Pemanasan Global dengan Efek Rumah Kaca
Bumi sebenarnya secara alami menjadi panas karena radiasi panas matahari yang masuk ke atmosfer. Panas ini sebagian diserap oleh permukaan Bumi lalu dipantulkan kembali ke angkasa. Karena ada gas rumah kaca di atmosfer, di antaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O), maka sebagian panas tetap ada di atmosfer sehingga Bumi menjadi hangat pada suhu yang tepat (60ºF/16ºC) bagi hewan, tanaman, dan manusia untuk bisa bertahan hidup. Mekanisme inilah yang disebut dengan efek gas rumah kaca. Tanpa efek gas rumah kaca, suhu rata-rata di dunia bisa menjadi -18ºC. Sayangnya, karena sekarang ini terlalu banyak gas rumah kaca di atmosfer, maka terlalu banyak panas yang ditangkapnya dan akibatnya Bumi pun menjadi semakin panas.
Gambar 1. Penyebab terjadinya efek rumah kaca
C. Penyebab Pemanasan Global
Dalam laporan Fourth Assessment Report terbaru, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir yang membuat planet semakin panas.
Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi tersebut merupakan konsentrasi tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir. PCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan nitro oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi.
D. Hubungan Sektor Pertanian dalam Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca
Sumbangan sektor pertanian terhadap emisi gas rumah kaca adalah sekitar sebesar 13,5%. Sumber emisi gas rumah kaca pertama-tama berasal dari pengerjaan tanah dan pembukaan hutan. Selanjutnya, berasal dari penggunaan bahan bakar fosil untuk pembuatan pupuk dan zat kimia lain. Penggunaan mesin dalam pembajakan, penyemaian, penyemprotan, dan pemanenan menyumbang banyak gas rumah kaca. Dan yang terakhir adalah berasal dari pengangkutan hasil panen dari lahan pertanian ke pasar.
Pertanian padi terutama yang selalu tergenang merupakan sumber dari tiga macam GRK yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Walaupun emisi CO2 sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintensis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomassa tanaman. Oleh karena itu emisi CO2, dari tanaman padi disebut sebagai zero net emission (Setyanto 2008). Kajian yang dilaksanakan di Balingtan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa emisi CO2 yang dilepas oleh lahan sawah irigasi selama satu musim tanam berkisar 3,5-4,2 ton per hektar per musim tanam pada berbagai system pertanaman padi.
Sumber utama emisi N2O adalah pemakaian pupuk N (urea) yang tidak tepat sasaran untuk kebutuhan tanaman, hal ini dapat diartikan pula bahwa proses pembentukan N2O akan di hambat apabila pupuk urea diberikan tepat pada waktunya. Beberapa teknologi anjuran hasil penelitian Balingtan menunjukkan bahwa penerapan system pertanaman pengolahan tanaman terpadu dan System of Rice Intensification (SRI) mampu menekan laju emisi N2O rata-rata sebesar 39-45% dibandingkan cara pengelolaan konvensional.
Emisi CH4 dan nilai merosotnya dari lahan petanian tidak sesederhana gas CO2 dan N2O. Metana dikenal sebagai gas rawa yang memiliki waktu tinggal di atmosfir selama 12 tahun. Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki kemampuan memancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Tidak ada potensi merosot yang jelas terhadap gas ini. Bakteri metanotrop yang ada pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian dirubah menjadi CO2 (Setyanto 2008).
Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfir dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B). Kehadiran gas CH4 pada lapisan dengan O3 sehingga kandungannya berkurang. Metana adalah salah satu gas yang menyebabkan penipisan ozon bumi. Oleh karena itu, gas rumah kaca yang harus diwaspadai untuk diturunkan emisinya dari lahan sawah adalah metana.
Emisi CH4 dari lahan pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim sehingga dinamika kondisi anaerobik bahan organik yang berada di sekitar perakaran tanaman padi akan dilepaskan atmosfir melalui batang padi. Selain berperan sebagai “jembatan” penghubung dari bagian anaerobic (lapisan tanah dengan ketersedian oksigen rendah) tanah dengan atmosfir, perakaran dari tanaman padi juga berperan memberi suplai karbon dalam bentuk eksudat akar yang merupakan bahan pembentuk CH4 pada tanah (Setyanto 2008).
Prinsip utama dalam mengurangi emisi CH4 dari lahan sawah adalah dengan merubah mekanisme dekomposisi anaerobic bahan organic tanah ke dekomposisi secara aerobic sehingga yang dihasilkan gas CO2. Sepeti halnya hukum kekekalan energi yang menyebutkan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan tetapi dapat mengalami perubahan dari bentuk energi yang satu ke bentuk yang lain. Untuk itu apabila sejumlah energi karbon dalam tanah dapat dirubah menjadi
CO2, maka upaya mitigasi emisi CH4 dari lahan sawah dapat berlangsung karena mekanisme rosot CO2 lebih sederhana dibandingkan CH4.
BAB III
PEMBAHASAN
Inovasi Teknologi Pertanian dalam Mengurangi Pemanasan Global
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil, proses alami dan kegiatan alih guna lahan. Proses tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer. Di antara gas-gas tersebut adalah karbondioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti rumah kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang-panjang yang dipancarkan bumi dan bersifat panas sehingga suhu di atmosfer bumi makin meningkat.
Dampak pada pemanasan global pada sektor pertanian yaitu pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan sehingga berdampak keterlambatan musim tanam atau panen, kegagalan penanaman atau panen karena banjir, tanah longsor dan kekeringan (Ashari 2009).
Banyak teknologi yang sudah teruji di lahan pertanian untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup sebagai antisipasi anomali iklim. Salah satu teknologi tersebut adalah mina padi. Mina padi adalah budidaya terpadu yang dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah yaitu meningkatkan pendapatan petani (peningkatan produksi padi 10%), meningkatkan keragaman hasil pertanian (menghasilkan ikan), meningkatkan kesuburan tanah dan air (mengurangi penggunaan pupuk 30%), juga dapat mengurangi hama penyakit (wereng coklat) pada tanaman padi. Selain itu, pendapatan petani juga dapat diselamatkan meskipun padi yang dihasilkan mengalami kegagalan panen akibat serangan hama. Mina padi itu juga dinilai sebagai salah satu solusi dalam menangani rendahnya produktivitas akibat dari cuaca ekstrim yang merupakan dampak dari perubahan anomali iklim. Mina padi diketahui dapat menyuburkan lahan melalui kotoran ikan yang membantu percepatan perbaikan lingkungan karena dengan pola ini, maka akan mengurangi gas metan yang dibuang dari sisa pemupukan (Ashari 2009).
Budidaya mina padi merupakan salah satu sistem yang praktis untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan pada areal pertanian padi sawah yang sempit dengan cara memanfaatkan kolom air di areal sawah sebagai media pemeliharaan ikan. Konsep utama dalam mereduksi emisi gas metan dari lahan sawah adalah dengan meningkatkan konsentrasi oksigen pada lapisan anaerobik tanah (rizosfir) dan mengurangi suplai karbon yang mudah terurai. Dengan bertambahnya konsentrasi oksigen, proses produksi gas metan dapat berkurang karena gas metan teroksidasi secara biologi oleh bakteri metanotropik. Beberapa peran mina padi terhadap emisi gas metan:
1. Peningkatan produksi padi dan pengurangan pengaruh serangan wereng coklat.
2. Pengurangan penggunaan pupuk anorganik sebesar 30%.
Menurut hasil penelitian Sudirman dan Iwan (2003), kesuburan tanah di sawah dapat ditingkatkan karena kotoran ikan dan sisa makanan berfungsi sebagai pupuk. Lahan sawah menjadi subur dengan adanya kotoran ikan yang mengandung berbagai unsur hara, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebesar 30%.
Ikan juga dapat membatasi tumbuhnya tanaman lain yang bersifat kompetitor dengan padi dalam pemanfaatan unsur hara, sehingga mampu mengurangi biaya penyiangan tanaman liar. Selain itu, mina padi harus didukung dengan pemilihan varietas padi. Penggunaan varietas yang unggul dan adaptif terhadap praktek pertanian terpadu akan mengurangi input pupuk kimia. Aktivitas ini akan mengurangi emisi N2O dari pupuk kimia dengan tetap mempertahankan kualitas produk pertanian.
Pengurangan penggunaan pupuk anorganik sebesar 30% dapat mereduksi emisi gas metan ke udara. Penggunaan pupuk anorganik secara intensif dan penemuan varietas-varietas padi berumur genjah merangsang tingkat kenaikan produksi padi karena bisa menambah periode tanam. Amonium sulfat ((NH4)2SO4) dan urea (CO(NH2)2) dengan kandungan N berturut-turut sebesar 20,5% dan 45% adalah sumber N utama buat tanaman padi. Penggunaan pupuk tersebut ternyata berperan besar terhadap emisi dan mitigasi gas metan dari lahan sawah.
Pengembangan budidaya mina padi merupakan program Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Gerakan Sejuta Hektar Mina Padi (GENTANADI) yang diharapkan dapat mendatangkan beberapa keuntungan yaitu secara umum menyelamatkan lingkungan dari emisi Gas Rumah kaca (GRK) dan juga terhadap petani dalam proses pemenuhan kebutuhan pupuk organik yang ramah lingkungan serta mendukung pencapaian sasaran produksi perikanan hingga 35,3%.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpula yang dapat diberikan berdasarkan permasalahan yang disusun dalam makalah ini adalah:
1. Besarnya efek gas metan yang dihasilkan dalam sektor pertanian, dan usaha-usaha penanggulangannya seharusnya diarahkan kepada pengendalian sumber-sumber emisi metana dalam rangka memperbaiki lingkungan hidup sebagai antisipasi anomali iklim melalui budidaya mina padi.
2. Pengembangan budidaya mina padi mendatangkan keuntungan dalam menyelamatkan lingkungan dari emisi Gas Rumah kaca (GRK) dan juga terhadap petani dalam proses pemenuhan kebutuhan pupuk organik yang ramah lingkungan.
B. Saran
Perlunya sosialisasi tentang bagaimana peranan mina padi selain meningkatkan pendapatan petani, juga kemapuannya dalam mereduksi emisi gas metan (CH4) di udara. Selain itu, sangat diharapkan adanya dukungan program pemerintah dalam upaya penyelamatan lingkungan, khususnya tentang isu pemanasan global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar